Kamis, 03 Februari 2011

Israel Cemas akan Mesir

TEMPO Interaktif, Yerusalem - Lebih dari 200 ribu warga Mesir, pria dan wanita, dari mahasiswa hingga doktor bahkan masyarakat miskin membludak di pusat Ibu Kota Kairo kemarin dalam demonstrasi akbar menentang Presiden Husni Mubarak, yang berkuasa selama 30 tahun. Bendera Mesir dikibarkan dan banyak spanduk berisi tulisan "Bye-Bye Mubarak". Mereka menolak janji-janji Mubarak dan menuntutnya lengser. Sekitar 20 ribu orang beraksi di Kota Suez, meneriakkan hal senada.

Krisis politik yang diwarnai kekerasan dan kerusuhan, yang menewaskan sedikitnya 140 orang dalam sepekan terakhir, membuat Israel cemas, tetangga Mesir. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan, dalam pertemuan kemarin dengan Kanselir Jerman Angela Merkel di Yerusalem, bahwa berlanjutnya pergolakan di Mesir bisa membawa elemen-elemen radikal Islam ke pucuk kekuasaan.

Netanyahu juga menyebutkan ada kemungkinan peristiwa di Mesir bakal mirip skenario revolusi Iran pada 1979. Ahad lalu, dia sudah menelepon Presiden Amerika Serikat Barack Obama.

Saat bertemu dengan Merkel dan kepada pers, Netanyahu menekankan dua poin kepada Barat. Pertama, radikal Islam mungkin akan mengambil alih Mesir, dan kedua, fakta bahwa Israel adalah satu-satunya negara yang stabil di Timur Tengah dan oleh karena itu Barat harus mengeratkan hubungan. "Kami negara yang stabil di kawasan," ucap Netanyahu kepada Merkel.

"Kami cemas saat ada perubahan cepat, tanpa semua aspek demokrasi modern, apa yang terjadi--dan itu telah terjadi di Iran--bakal menaikkan satu rezim radikal Islam," kata Netanyahu dalam jumpa pers. Beberapa pemimpin yang berbicara kepadanya juga cemas akan hal serupa.

"Tiap orang berharap stabilitas bakal dipulihkan di Mesir. Perdamaian bakal terwujud dan situasi diselesaikan dengan cara-cara damai. Sumber kerusuhan di Mesir bukanlah Islam radikal, melainkan dalam situasi chaos, suatu elemen Islam yang terorganisasi bisa mengambil alih negeri itu," ucap Netanyahu.

Merkel tanpa sungkan meminta Mubarak menggelar reformasi politik. Apa yang dilakukan sejauh ini belum cukup bagi demonstran dan Mubarak harus berdialog. "Stabilitas di Mesir penting, tapi begitu juga HAM," Merkel menegaskan.

Sementara itu, dalam manuver yang tak biasa dan dengan persetujuan Israel, Mesir memindahkan sekitar 800 tentaranya masuk Sinai dalam perintah menangani kerusuhan Badui di semenanjung itu. Padahal pengerahan pasukan di Sinai suatu pelanggaran dari perjanjian damai yang ditandatangani antara kedua negara pada 1979, yang menetapkan area itu menjadi demiliterisasi. Pihak Mesir diminta memindahkan dua batalion militer ke kawasan Sharm el-Sheikh di selatan Sinai, mengantisipasi pergolakan bisa lepas kendali di sana.

Situasi memang kian genting. Ikhwanul Muslimin kemarin menyatakan koalisi kelompok-kelompok oposisi hanya akan mulai berbicara transisi menuju demokrasi setelah Mubarak yang tengah terkepung lengser. "Permintaan pertama kami, Mubarak harus pergi. Hanya dengan itu dialog bisa dimulai dengan militer membentuk detail-detail suatu transisi damai kekuasaan," kata Mohammed al-Beltagi, mantan anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin. Pernyataan Beltagi dikuatkan oleh ElBaradei dan pemimpin oposisi lain.

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/timteng/2011/02/02/brk,20110202-310609,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar